DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ekonomi merupakan kegiatan sosial masyarakat. Dalam perkembangannya
kegiatan Ekonomi mengalami perubahan-perubahan dari jaman dahulu sampai
sekarang. Salah satu perubahan yang muncul sebuah istilah ekonomi syariah dan
ekonomi konvensional. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang cukup
substansif. Ekonomi konvensional merupakan sistem yang berlaku secara umum
dilakukan oleh masyarakat didunia sedangkan ekonomi syariah merupakan system
ekonomi yang berlandsaskan prinsip-prinsip syariah.
Ekonomi konvensional yang berlaku
sekarang tidak lepas unsur-unsur ketidakjelasan yang merugikan salah satu
pihak, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Seseorang memperoleh
kemakmuran diatas kesengsaran orang lain. Moral dan etika yang dipakai adalah
semata-mata bagaimana mendapatkan keuntungan pribadi. Ketidakmampuan dalam
mengelola ekspektasi tindakan-tindakan yang akan diambil spekulan mengakibatkan
terjadinya krisis ekonomi. Untuk mengendalikan aksi spekulan dan mengatasi
krisis, perlu orang-orang yang memahami cara bekerja sistem ekonomi pasar yang
ada. Ketersediaan orang tersebut merupakan necessary condition. Ini amat
penting untuk mencegah krisis ekonomi yang bekepanjangan.
Melakukan kegiatan ekonomi adalah
merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu
ia memperoleh rizki, dan dengan rizki ia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi
orang Islam, Al Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhn hidupnya yang
berkebenaran absolute. Sunnah Rasulullah Muhammad SAW berfungsi menjelaskan
kandungan Al Qur’an. Terdapat banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang
merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas.
Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh Al Qur’an. Apabila
kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian
kecil orang pasti akan ditolak seperti halnya riba.
Al Qur’an telah jelas melarang riba[1][1]. Selain itu juga
agama –agama lainpun melarangnya, bukan hanya etika agama yang mengutuknya,
tetapi juga etika filosofis, seperti filsafat yunani. Dengan demikian,
disamping diketahui bahwa al Qur’an tidak sendirian dalam menampilkn sikap
kerasnya terhadap riba.
Salah satu lembaga perekonomian yang
sampai saat ini menggunakan system riba ialah bank. Menurut catatan sejarah,
usia perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 SM dalam masyarakat Mesir Purba
dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi. Istilah perbankan dalam masyarakat
modern pada umumnya disebut dengan bank konvesional. Bank konvensional
melaksanakan pembagian keuntungan dengan system bunga (persentase) tetap. Bank
tidak mau melihat, apakah wiraswastawan peminjam mendapat kerugian atau laba. Hal
ini membuat sekelompok orang islam untuk mendirikan bank islam dengan ciri
tanpa bunga yang disebut dengan bank syari’ah,. Seperti apakah perbedaan bank
syariah dan bank konvensional itu? Berikut akan diulas dalam bab ini
B. Perumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud bank konvensional dan bank syariah ?
2.
Apa
yang dimaksud akad pada bank ?
3.
Sebutkan
struktur organisasi pada bank syariah !
4.
Apa
perbedaan bunga dan bagi hasil ?
C. Tujuan
1.
Memenuhi
tugas kuliah.
2.
Mengetahui
pengertian bank syariah dan bank konvensional.
3.
Mengetahui
akad pada bank syariah.
4.
Mengetahui
struktur organisasi pada bank syariah.
5.
Mengetahui
perbedaan bunga dan bagi hasil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah
1.
Bank Konvensional
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris
“convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional
adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati
bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem
perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam
suatu konvensi apapun.
Hal
inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang di ambil oleh Bank konvensional
menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam adalah sesuatu yang
diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik demi mendapatkan
keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Di Indonesia, menurut
jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 1
ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[2][2]
2.
Bank syariah
Bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam
penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan
mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima titipan dana,
meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang) adalah boleh dilakukan, kecuali
bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal – hal yang dilarang
syariah. Dalam praktik perbankan konvesional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut
dilakukan berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional memang tidak serta merta
identik dengan riba, namun kebanyakan praktik bank konvensional dapat digolonglan sebagai transaksi ribawi.[3][3]
Antonio dan perwataadmadja
membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi
dengan prinsip syariat Islam.[4][4] Bank Syari’ah adalah
1)
Bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam
2)
Bank yang
tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits
Sementara Bank yang beroperasi
sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang dalam operasinya itu
mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya yang menyangkut tata
cara bermuamalah secara Islam. Dikatakan lebih lanjut, dalam tata cara
bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan praktek-praktek yang dikhawatirkan
mengandung unsure riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas
dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[5][5]
B.
Akad dan aspek legalitas
Dalam bank
syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena
akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
Secara bahasa,
akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya
kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan
diri dengan sesuatu yang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen
tertentu yang disyariatkan.
1.
Akad-Akad
dalam Bank Syariah
1)
Antara Wa’ad dengan Akad
Fiqih Muamalah Islam
membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise)
anara satu pihak kepada pihak lainnya. Sementara akad adalah kontrak antara dua
belah pihak.Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang yang memberi
janji berkewajiban untuk melaksanakn
kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa
terhadap pihak lain.
2)
Antara Tabarru’ dengan tijarah
a.
Akad Tabarru’
Akad Tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut non-for frofit transaction (transaksi nirlaba).
Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersial. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolonga dalam rangka
berbuat kebaikan (tabarru berasal dari kata birr dalam bahasa arab, yang
artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut
tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari
akad tabarru adalah dari Allah Swt., bukan dari manusia namun demekian pihak
pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya
untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan untuk
dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun
mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard,
rahan,hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqaf, shadaqah, hadiah, dan
lain-lain.[6][6]
Ada tiga macam bentuk umum akad Tabarru’, yakni:
·
Meminjamkan harta (uang)
Akad meminjamkan uang ini ada beberapa lagi jenisnya, setidaknya ada tiga
jenis, yakni sebagai berikut. Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan
apapun, selain mengnembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu
maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut dengan Qard
Selanjutnya, jika dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman
mensyartakan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk
pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn
Ada lagi suatu bentuk pemberian pinjaman uang, diman tujuannya adalah untuk
mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang denagn
maksud seperti ini disebut hiwalah
·
Meminjamkan jasa
Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga
terbagi menjadi tiga jenis. Bila kita meminjamkan ‘diri kita’ (yakni, jasa
keahlian atau keterampilan, dan sebagainya) saat ini untuk melakuakn sesuatu
atas nama orang lain, mak hal ini diberi nam wakalah.
Selanjutnya, bila akad wakalah ini kita rinci
tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang,
dengan tugas menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), bentuk
peminjaman jasa seperti ini disebut dengan akad wadi’ah.
Ada variasi lain dari akad Wakalah,yakni contingent
wakalah ( wakalah bersyarat). Dalam hal ini, maka kita bersedia memberikan
jasa kita untuk melakuakan sesuatau atas nama orangn lain, jika terpenuhi
kondisinya, atau jika ssuatu terjadi.Wakalah bersyarat ini dsalam terminologi
fiqih disebut sebagai akad kafalah.
·
Memberikan sesuatu
Yang termasuk kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai
berikut: hibah,wakaf, shadaqah, hadiah dan lain-lain. Dalam semua akad-akad
tersebut, si pelaku memberiakn sesuatu kepada orang alin. Bila penggunanya
untuk kepentingan umum dan agam. Akadnyana dinamakan Wakaf . obyek wakaf ini tidak boleh diperjaulbelikan begitu
dinyatakan sebagai aset wakaf . Sedangkan hibah dan hadiah
adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.[7][7]
b.
Akad Tijarah
Akad tijarah/muaawadah (compensational contrac)
adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction.
Akad-akad ini dilakuakn dengan tujuan mencari keuntungan karena itu bersifat
komersial. Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli,
sewa-menyewa. Dan lain-lain.[8][8]
2.
Rukun Akad
1)
Penjual
2)
Pembeli
3)
Barang
4)
Harga
5)
Akad/ijab-qabul
3.
Syarat –
Syarat Akad
1)
Barang dan jasa harus halal sehingga
transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
2)
Harga barang dan jasa harus jelas.
3)
Tempat penyerahan (delivey)
harus jelas karena akan berdampak pada biyaya transportasi.
4)
Barang yang ditransaksikan harus
sepenuhnya dalam kepemilikan.tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki
atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi Short sale dalam pasar modal.[9][9]
C.
Lembaga Penyelesai sengketa
Berbeda dengan
perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau
perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak
menyelesaikannya di peradilan
negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata
cara dan hukum materi syariah.
Seperti
diketahui selama ini, jika terjadi sengketa atau perselisihan antara pihak bank
syariah dengan nasabahnya, maka alternatif penyelesaiannya adalah Badan
Arbitrase yang menerapkan hukum materiil Islam, dalam hal ini Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS) atau peradilan umum sesuai dengan Undang-undang
No. 2 Tahun 1986. Namun sekarang, setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, jika terjadi sengketa perbankan
syariah, maka alternatif penyelesaiannya disamping BASYARNAS tersebut, juga
Peradilan Agama selaku institusi yang berwenang untuk itu. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 49 berikut penjelasannya pada huruf (i) UU Perdilan Agama
tersebut dan Pasal 55 Ayat (1) UU Perbankan Syariah.[10][10]
Dengan
demikian, berbeda dengan bank konvensional, yang lembaga penyelesaian
sengketanya adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Peradilan
Umum.
D.
Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank
konvensional, misalnya dalam komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat
membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya
Dewan Pengawasan Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan
produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
1.
Dewan
Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah
mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariah.
Dewan Pengawasan Syariah harus membuat pernyataan secara
berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bang yang diwarisinya telah berjalan sesuai
dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual
report) bank bersangkutan.
Tugas lain Dewan Pengawasan Syariah adalah meneliti dan
membuat rekomendasi produk baru yang diawasinya. Dengan demikian, dewan
pengawasan syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk
diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.[11][11]
Pasal 27 PBI No. 6/24/PBI/2004 menguraikan tugas, wewenang,
dan tanggung jawab DPS, Yaitu antara lain meliputi:
1)
Mematikan dan mengnawasi kesesuaina
kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang oleh DSN.
2)
Menilai aspek syariah terhadap
pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan bank;
3)
Memberikan opini dari aspek syariah
terhadap pelaksanaan terhadap operasional bank secara keseluruhan dalam laporan
publikasi bank;
4)
Mengkaji produk dan jasa baru yang
belum ada fatwa untuk dimintakan fatwakepada DSN;
5)
Mennyampaikan laporan hasil
pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 (enam)bulan kepada direksi,
komisaris, Dewan Syariah Nasional, dan Bank Indonesia.
Fungsi utama DPS Adalah:
1.
Sebagai penasehat dan pemberi saran
kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah, dan pimpinan kantor cabang syariah
mengenai hal-hal yang terkait denagn aspek syariah.
2.
Sebagai mediator antara lembaga
keuangan syariah dengan DSN dalam komunikasikan usul dan saran pengembangan
produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerluakn kajian dan fatwa
dari DSN.
Sedangkan kewajiban DPS adalah:
1.
Mengikuti fatwa DSN
2.
Mengawasi kegiatan usaha lembaga
keuangan syariah agar tidak menyimpang dari ketentuan dan dan prinsip syariah
yang telah difatwakan oleh DSN.
3.
Melaporkan kegiatan usaha dan
perkembangan lembaga keuangan yang diawasinya secara rutin kepada DSN,
sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. [12][12]
2.
Dewan
Syariah Nasional (DSN)
Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI
Untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan aktivitas lembaga keuangan
syariah. Dewan Syariah Nasional adalah badan yang ada dilembaga keuangan
syariah dan bertugas mengawasi melaksanakan keputusan Dewan Syariah Nasional
dilembaga keuangan syariah.[13][13]
Adapun Dewan Syariah Nasional (DSN) menurut ketentuan Pasal
1 Ayat (9) PBI adalah dewan yang dibentuk oleh majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan
jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip Syariah.[14][14]
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997dan merupakan
hasil rekomendasi lokakarya reksadana Syariah pada bulan juli tahun yang
sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dibawah majelis ulama indonesia dipimpin oleh ketua umum majelis
ulama Indonesia dan seretaris (ex-officio)
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi
produk-produk lembaga keuangan Syariah agar sesuai dengan syariat Islam. Dewan
ini bukan hanya mengawasi bank syariah,
tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura,
dan sebagainya untuk keperluan pengawasan tersebut, dewan syariah nasional
membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum
islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawasan Syariah
pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan
produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan
memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan
syariah. Produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah
direkomendasikan oleh Dewan Pengawasn Syariah pada lembaga yang bersangkuatn.[15][15]
Menurut keputusan DSN No. 01 Tahun 2000 tentang pedoman
Dasar Dewan Majelis Ulama Indonesia. DSN bertugas sebagai beriakut:
a.
Menumbuhkembangkan penerapan
nilai-niali syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan
khususnya
b.
Mengelurkan fatwa atas jenis-jenis
kegiatan keuangan
c.
Mengeluarkan fatwa atas produk dan
jasa keuangan syariah
d.
Mengnawasi penerapan fatwa yang
telah dikeluarkan
DSN Berwenang sebagai berikut:
a.
Mengeluarkan fatwa yang
mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan Syariah (LKS) dan menjadi dasar
tindakan hukum terkait
b.
Mengeluarkan fatwa yang menjadi
landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi
yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia
c.
Memberikan rekomendasi dan/atau
mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada
suatu LKS
d.
Mengundang para ahli untuk
menjelaskan suatu masalah yang diperluakn dalam pemhasan
ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar
negeri
e.
Memberiakn peringatan kepada LKS
untuk menghentikan penyimpanan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN
f.
Mengusulkan
kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan
tidak diindahkan.[16][16]
Kedudukan, Status, dan Anggota Dewan Syariah Nasional
a.
Dewan Syariah Nasional (DSN)
merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia
b.
Dewan Syariah Nasional membantu
pihak terkait, seperti Departemen keuangan, Bank Indonesia dan lain-lain
dalam menyusun peraturan, ketentuan untuk lembaga keuangan syariah
c.
Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri
dari para ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan
Muamalah Syariah.
d.
Anggota Dewan Syariah Nasional
ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (tahun) tahun.[17][17]
Pembiayaan Dewan Syariah Nasional
a.
Dewan Syariah Nasional memperoleh
dana operasional dari bantuan pemerintah Departemen keuangan (DEPKEU), Bank
Indonesia,dan sumabangan masyarakat
b.
Dewan Syariah Nasional meneriam dana
iuran bulanan dari setiap lembaga keuangan syariah yang ada
c.
Dewan Syariah Nasional mempertanggaungjawabkan
keuangan atau sumbangan tersebut kepada majellis Ulama Indonesia
Untuk Memperkuat posisi Dewan Syariah Nasional sebagai
lembaga yang mengurusi sistem keuangan dalam Negara Republik Indonesia. Maka
dibuatlah kesepahaman dalam bentuk MOU (Memorandum Of Understanding)
antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memilki oteritas dalam bidang
keagaman ( Islam) Dan Bank Indonesia ( BI) sebagai lembaga sentral yang
menangani sistem keuanngan di Indonesia. Dalam MOU tersebut, Bank Indonesia menempatkan
DSN-MUI menjadi sangat strategi dan sentral dalam pengembangan ekonomi syariah
dinegeri ini.
E.
Bisnis dan Usaha
yang di Biayai
Dalam bank syariah, bisnis dan dan usaha yang dilaksanakan
tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan
mungkin membiayai usaha yang terkandung didalamnya hal-hal yang diharamkan.[18][18]
Dalam Bank Syariah suatu pembiayaan tidak mungkin disetujui
sebelum dipastikan beberapa hal pokok diantaranya:
1.
Apakah obyek pebiayaan halal atau
haram?
2.
Apakah proyek menimbulkan
kemudharatan bagi Masyarakat?
3.
Apakah Proyek Berkaitan dengan
pembuatan Mesum/asusila?
F.
Lingkungan Kerja
Dan Corporate Culture
Bank Syariah selayak nya memiliki lingkungan kerja yang
sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq,
harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim
yang baik. Disamping itu, karyawan bank syariah harus skillful dan professional (fathanah), dan mampu
melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata diseluruh
fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan
punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
Selain itu cara berpakain dan tingkah laku dari para
karyawan merupakan cermin bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan
yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan
tingkahlaku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus
senantiasa terjaga.
Perbedaan Bunga dan Bagi hasil
No
|
Bunga
|
Bagi Hasil
|
1
|
Penentuan
bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa berdasarkan kepada untung/rugi.
|
Penentuan
bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian dengan berdasarkan kepada untung/rugi.
|
2
|
Jumlah
persen bunga berdasarkan jumlah uang (modal) yang ada.
|
Jumlah
nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan
yang telah
dicapai.
|
No
|
Bunga
|
Bagi Hasil
|
3
|
Pembayaran
bunga tetap seperti perjanjian tanpa diambil pertimbangan apakah proyek yang
dilaksanakan pihak kedua untung atau rugi
|
Bagi hasil
tergantung pada hasil proyek. Jika proyek tidak mendapat keuntungan atau
mengalami kerugian, maka resikonya ditanggung kedua belah pihak.
|
4
|
Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat ganda.
|
Jumlah
pemberian hasil keuntungan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
yang didapat.
|
5
|
Pengambilan/pembayaran
bunga adalah haram.
|
Penerimaan/pembagian
keuntungan adalah halal.
|
Bank syari’ah memiliki beberapa ciri atau karakteristik
tersendiri yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Berdimensi keadilan dan pemerataan
2.
Adanya pemberlakuan jaminan
3.
Menciptakan rasa kebersamaan
4.
Bersifat Mandiri
5.
Persaingan secara sehat
BAB III
PENUTUP
Demikianlah makalah
tentang Perbedaan Bank Syariah dan Konvensional kami buat, semoga dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.
Ø
Kesimpulan :
Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah
SWT untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat . Oleh karena itu , setiap kegiatan
lembaga keuangan yang di khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama , harus di
hindari.[21][21]
a)
Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya:
·
Menghindari
penggunaan system yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha
(QS. Luqman, ayat: 34)
·
Menghindari
penggunaan system prosentasi untuk pembebanan biyayaa terhadap hutang atau
pemberian imbalan terhdap simpanan yang mengandung unsure meliputi gandakan
secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al
Imron: 130)
·
Menghindari
penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan
barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun
kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s.d 1567)
·
Menghindari
penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan atas
prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No.1569
s.d 1572)
b)
Menetapkan system bagi hasil dan perdagangan
Dengan mengacu pada Al Qur’an surat
Al Baqarah ayat 275
dan An Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus
dilandasi atas dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya
didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada
kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga
akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa,
dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.[22][22]
No
|
Perbedaan Aspek
|
Bank Islam
|
Bank Konvensional
|
1
|
Falsafah
|
Tidak berdasarkan atas bunga,
spekulasi dan ketidakjelasan
|
Berdasarkan atas bunga
|
2
|
Operasional
|
- Dana masyarakat berupa titipan
dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil juka diusahakan terlebih
dahulu
- Penyaluran pada sektor usaha
yang halal dan menguntungkan
|
- Dana masyarakat berupa simpanan
yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo
- Penyaluran pada sektor yang
menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama
|
3
|
Sosial
|
Dinyatakan secara eksplisit dan
tegas yang tertuang dalam Visi & Misi perusahaan
|
Tidak tersirat secara tegas
|
4
|
Organisasi
|
Harus memiliki Dewan Pengawas
Syariah (DPS).
|
Tidak memiliki Dewan Pengawas
Syariah.
|
Ø
Saran :
Setelah kita semua mengetahui apa itu perbedaan bank syariah
dan bank konvensional, diharapkan agar kita lebih memilih menggunakan jasa bank
syari’ah dan alangkah baiknya pula, yang sudah menggunakan bank konvensional
pindah ke bank syari’ah
DAFTAR PUSTAKA
Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, 1997. Apa
dan Bagaimana Bank Islam.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf..
M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi Dakwah Ekonomi
Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES): Jakarta.
Muhammad Syafi’I Antonio, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta.
Cik Basir, SH.,
Mhi., 2009. Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah. Kencana: Jakarta.
Wirdiyaningsih, SH. MH. Dkk., 2005. Bank
dan Asuransi Islam Di Indonesia.
Kencana: Jakarta.
Dr.Muhamad Firdaus, 2005 . Fatwa-fatwa
Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan:
Jakarta.
Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag., 2003. Lembaga
Perekonomian Ummat Di Dunia Islam.
Angkasa: Bandung.
Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi Janwari,M.ag., 2002. Lembaga-lembaga
Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo Persada: Jakarta.
Muhammad, 2000. Lembaga
Keuangan umat kontemporer. UII
Press: Yogyakarta.
Muhammad, 2005. Konstruksi
Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah.
BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta.
[1][1] Riba dalam Ilmu Fiqih ada dua
macam: 1). Riba yang disebabkan oleh jual beli, disebut riba fadl dan
2). Riba yang disebabkan oleh pinjam meminjam atau hutang piutang disebut riba
nasi’ah. Riba yang dibicarakan dalam Al Qur’an adalah riba nasi’ah
[4][4] Karnaen Perwataatmadja dan M.
Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf. 1997. Hlm.1
[7][7] M. Nadratuzzaman Hosen. Dkk. Materi
Dakwah Ekonomi Syariah. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Jakart.
Hlm.87-89
[9][9] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank
Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1.
Hlm.31
[10][10] Cik Basir,
SH., Mhi. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Kencana: Jakarta. 2009, Hlm.
43
[11][11] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank
Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani: Jakarta, 2001 Cet. Ke-1.
Hlm.31
[12][12] Wirdiyaningsih, SH. MH. Dkk. Bank
dan Asuransi Islam Di Indonesia. Kencana: Jakarta.2005. Hlm. 83-85
[13][13] Dr.Muhamad Firdaus. Fatwa-fatwa
Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan: Jakarta, 2005 Cet. Ke-1. Hlm.22
[14][14] Cik Basir,
SH., Mhi. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Kencana: Jakarta. 2009, Hlm.
55
[16][16] Wirdiyaningsih, SH. MH. Dkk. Bank
dan Asuransi Islam Di Indonesia. Kencana: Jakarta.2005. Hlm. 81
[17][17] Dr.Muhamad Firdaus. Fatwa-fatwa
Ekonomi Syariah Kontemporer. Renaisan: Jakarta, 2005 Cet. Ke-1. Hlm.23
[19][19] Drs.M. Zaidi Abdan, M.Ag. Lembaga
Perekonomian Ummat Di Dunia Islam. Angkasa: Bandung, 2003 Cet. Pertama.
Hlm.77
[20][20] Prof.H. A.Djazuli. Dan Drs. Yadi
Janwari,M.ag . Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. PT Raja Grapindo
Persada: Jakarta,2002. Cetakan. Pertama.Hlm.55-60
[22][22] Muhammad, Konstruksi
Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005, hlm16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar