A. Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah
1.
Bank Konvensional
Konvensional sebenarnya berasal dari
bahasa Inggris “convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi
bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang
disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita,
sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama
dalam suatu konvensi apapun.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang di ambil oleh Bank konvensional
menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam adalah sesuatu yang
diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik demi mendapatkan
keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10
tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang
perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Di
Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa
bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[1]
2.
Bank
syariah
Bank syariah adalah suatu bank yang dalam
aktivitasnya; baik dalam penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran
dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan
(menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang) adalah
boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal
– hal yang dilarang syariah. Dalam
praktik perbankan konvesional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan
berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional memang tidak serta merta identik
dengan riba, namun kebanyakan praktik bank konvensional dapat digolonglan sebagai transaksi ribawi.[2]
Antonio dan
perwataadmadja membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank
yang beroperasi dengan prinsip syariat Islam. Bank Syari’ah
adalah
1)
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip
syari’at Islam
2)
Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada
ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits
Sementara Bank
yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang dalam
operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya yang
menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dikatakan lebih lanjut,
dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan praktek-praktek
yang dikhawatirkan mengandung unsure riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan
investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[3]
B. Prinsip – Prinsip Bank Syariah dan Bank Konvensional
Berikut ini prinsip-prinsip yang berlaku pada bank
syariah:
a)
Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah).
b)
Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah).
c)
Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah).
d)
Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa
pilihan (ijarah).
e)
Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa
dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Pada bank
konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
a)
Bunga sudah ditentukan besarnya
terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan
keuntungan atau tidak.
b)
Besarnya bunga adalah tetap, baik bank
sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan
banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak
bertambah.
C. Perbedaan Cara Kerja Bank Konvensional dan Bank Syariah
a)
Dengan
prinsip titipan atau simpanan, Al-wadi'ah
Pada bank Syari'ah, Al-wadi'ah diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik secara individu maupun dengan
badan hukum. Titipan ini harus dijaga dan akan dikembalikan pada saat si
penitip menginginkannya. Dalam perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan,
sesuai kebijakan dari bank yang bersangkutan. Hal ini dilakukan guna merangsang
semangat masyarakat untuk menabung, juga menjadi indikator kesehatan bank.
Pemberian bonus ini tidak dilarang, yang penting tidak disyaratkan sebelumnya,
serta jumlahnya tidak ditetapkan secara nominal atau dalam persentasi secara
advance, artinya harus betul-betul merupakan kebijakan dari bank.
Pada bank Konvensional, hal ini disebut produk giro,
dimana bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini dan
sebagai konsekuensinya, semua keuntungan yang diperoleh dari dana simpanan atau
titipan tersebut akan menjadi milik bank. Sedangkan si penyimpan atau penitip
akan mendapatkan jaminan keamanan (titipannya) serta fasilitas-fasilitas giro
lain.
b)
Dengan
prinsip bagi hasil (profit-sharing), Al-Mudharabah
Dalam bank Syariah, al-mudharabah merupakan akad kerja
sama usaha antara dua belah pihak, yang mana pihak pertama menyediakan 100
persen modal, dan pihak lainnya (kedua) menjadi pengelola. Kemudian keuntungan
usaha dibagi menurut kesepakatan yang telah disepakati dan dituangkan dalam
kontrak, sedangkan jika rugi, akan ditanggung oleh si pemilik modal selama
kerugian tersebut terjadi bukan karena kelalaian si pengelola. Dan jika kerugian
itu diakibatkan oleh adanya kecurangan atau kelalian si pengelola, maka barulah
si pengelola bertanggungjawab atas semua kerugian tersebut. Pada penghimpunan
dana, prinsip al-mudharabah diterapkan pada produk tabungan dan deposito. Dan
pada segi pembiayaan, diaplikasikan untuk pembiayaan modal kerja. Dengan
menempatkan dana (tabungan atau deposito), pemilik dana akan mendapatkan nisbah
bagian keuntungan. Sedangkan untuk pembiayaan, jika seseorang pedagang ingin
mendapatkan pinjaman modal untuk usaha, maka boleh mengajukan permohonan untuk
pembiayaan bagi hasil seperti al-mudharabah. Dengan cara menghitung terlebih
dahulu perkiraan pendapatan yang akan dihasilkan oleh nasabah dari usaha
tersebut. Kemudian dari pendapatan itu harus disisihkan terlebih dahulu untuk
tabungan pengembalian modal, dan selebihnya akan dibagi antara bank dengan
nasabah, tentu saja dengan kesepakatan awal, misalnya 60 % untuk nasabah dan 40
% untuk bank.
Dalam bank Konvensional, tidak ada istilah nisbah bagi
hasil, yang ada adalah istilah "bunga", bunga ini akan diperoleh dari
semua kegiatan, baik berupa tabungan, deposito atau pinjaman.
c)
Dengan
Al-Musyarakah
Dalam bank syariah, sistem Al-musyarakah ini terjadi
karena kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu.
Semua pihak yang terlibat atau yang bekerjasama harus memberikan kontribusi
untuk modal. Keuntungan dan segala risiko usaha, akan ditanggung bersama sesuai
kesepakatan yang telah disepakati. Intinya adalah bank syariah dan nasabah
secara bersama-sama memberikan modal untuk membentuk suatu usaha yang
keuntungannya akan dibagi sesuai kesepakatan.
Dalam bank konvensional, sistem ini dikenal sebagai sarana pembiayaan, atau
yang disebut dengan kredit modal kerja.
d)
Dengan
prinsip Al-Murabahah
Dalam bank syariah, sistem Al-muharabah yaitu terjadi
transaksi jual-beli suatu barang dengan harga asal serta tambahan keuntungan
yang nilainya telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini pembeli
harus memberitahu harga awal produk yang ia beli, kemudian menentukan tingkat
keuntungan sebagai tambahan. Contohnya, jika Anda ingin kredit untuk pembelian
mobil. Dalam sistem syariah menggunakan prinsip jual beli, bank yang
menalanginya dulu, kemudian saat dijualkan pada Anda akan diberikan dengan
harga sedikit lebih mahal, sebagai keuntungan buat bank. Sehingga cicilan yang
diberikan akan relatif tetap, tidak ada perubahan.
Dalam bank konvensional, untuk hal ini Anda akan
dikenakan bunga dan juga diharuskan membayar cicilan bulanan selama jangka
waktu tertentu atau lebih dikenal dengan kredit. Dan bisa jadi suku bunga yang
berlaku mungkin saja berubah, sehingga membuat cicilan kadang-kadang berubah
sesuai suku bunga.
Bank syariah mempunyai beberapa bentuk penghimpunan dana
berdasarkan prinsip-prinsip yang terdiri atas:
a)
Wadi'ah
Wadi'ah dalam tradisi fikih
Islam, dikenal dengan prinsip titipan atau simpanan. Wadi'ah dapat juga
diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik sebagai
individu maupun sebagai suatu badan hukum. Titipan dimaksud, yang harus dijaga
dan dikembalikan kapan saja si penitip menghen-daki. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa sifat-sifat dari wadi'ah, merupakan produk perbankan
Syariah berbentuk giro yang merupakan titipan murni (yad damanah).
Bila si penitip barang dimaksud, memberi izin kepada bank
untuk memanfaatkan barang titipan itu, maka sebagai konseku-ensi dari titipan
murni tersebut, bila pihak bank (pengelola) memperoleh penghasilan atas
pengelolaan dimaksud, maka keuntungan atau laba tersebut sepenuhnya adalah
milik bank. Kemudian bank atas kehendaknya sendiri tanpa perjanjian dan understanding
di muka, dapat memberikan bonus kepada para nasabahnya.
Wadi’ah pada dasarnya adalah berfungsi untuk penitipan
barang saja, karena pada zaman Rasulullah tujuan-tujuan wadi’ah hanya
demikian, tetapi tetap ada kasus yang membo-lehkan dana titipan diinvestasikan,
dengan ketentuan bahwa dana yang digunakan sebagai wadi’ah dikembalikan
seutuhnya kepada pemilik. Karena itu, wadi’ah dalam pengertian teknikal
adalah harta yang dititipkan kepada seseorang untuk tujuan disimpan, sehingga
dana yang disimpan tersebut tidak boleh digunakan pada dasarnya, tetapi kalau
pemilik mengizinkan dananya digunakan, maka penyimpan boleh saja
mengguna-kannya, demikian disebutkan dalam al-Majallah dan keuntung-an yang diperoleh dapat dimanfaatkan
oleh penyimpan; Namun bila terjadi kerugian maka penyimpan bertanggungjawab
sepenuhnya untuk mengganti kerugian itu.
Dasar hukum wadi’ah
adalah Firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat an-Nisa: 58 sebagai berikut.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا . . . .
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”.
Ayat dimaksud, dapat dijadikan
dasar hukum bahwa wadi’ah merupakan salah satu akad yang dibenarkan oleh
hukum Islam dan
dalam ayat lain disebutkan oleh Allah dalam Al Qurán surat al-Baqarah: 283
sebagai berikut.
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian lain maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah”
b)
Mudharabah
Mudarabah berasal dari kata darb
yang artinya memukul. Atau lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Secara teknis, mudarabah adalah
sebuah akad kerjasama antar pihak, yaitu pihak pertama (shahib al-mal)
menyediakan seluruh (100%) modal; sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdurrahmān Al-Jazīri yang memberikan
arti mudarabah sebagai ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada
orang lain sebagai modal usaha. Namun, keuntungan yang diperoleh akan dibagi di
antara mereka berdua, dan jika rugi ditanggung oleh pemilik modal.
Keuntungan usaha secara mudharabah, dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi, ditanggung oleh
pemilik modal selama bukan akibat kelalaian si pengelola. Tetapi seandainya
kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kecurangan pengelola, maka si
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Dalam akad mudharabah,
untuk produk pembiayaan, juga dinamakan dengan profit sharing.
Dasar hukum (legal aspect) mudharabah
adalah bersum-ber dari al-Qur’an surat al-Muzammil: 20 sebagai berikut.
.
. . وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي اْلأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ . . . .
“Dan sebagian dari
pada mereka orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian dari karunia
Allah”
Selain itu, Hadis Nabi Muhammad Saw yang
artinya: diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib,
jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar
dananya tidak dibawa mengarungi lautan menjalani lembah yang berbahaya atau
membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut maka yang bersangkutan
bertangungungjawab atas dana tersebut, disampaikanlah syarat tersebut kepada
Rasulullah, beliau membolehkannya”
(Maksud hadits HR Tabrani).
Mudharabah terbagi kepada dua bagian, yaitu: pertama mudharabah mutlaqah, yaitu
perjanjian kerja sama antara sahibul mal
dan mudharib tidak dibatasi dengan
spesifikasi usaha, tempat dan waktu selagi dalam batas-batas yang dibenarkan
oleh hukum syara’, kedua adalah mudharabah muqayyadah, yaitu usaha
kerjasama ini dalam perjanjiannya akan dibatasi sesuai dengan kehendak sahibulmal, selagi dalam bentuk bentuk
yang dihalalkan.
Filosofi Mudharabah, yaitu manusia
diciptakan oleh Allah SWT dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Ada orang
yang mempunyai kelebihan harta, ada orang yang kekurangan harta, ada orang yang
punya keahlian, tetapi tidak memiliki modal untuk melaksanakan sesuatu
pekerjaan, ada orang yang punya modal tetapi tidak punya waktu untuk mengurus
sebagian hartanya. Untuk terjadinya keseimbangan, yang berpunya perlu membantu
orang yang kurang dengan cara yang adil, sebab itu Islam menawarkan berbagai
solusi agar tidak terdapat kesen-jangan ditengah masyarakat, maka mudharabah merupakan bagian dari pada
cara yang ditawarkan Islam.
c)
Murabahah (Pembiayaan
dengan Marjin)
Murabahah merupakan salah satu bentuk menghimpun dana yang
dilakukan oleh perbankan Syariah, baik untuk kegiatan usaha yang bersifat
produktif, maupun yang bersifat konsumtif. Murabahah
adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati dan tidak terlalu memberatkan calon pembeli. Dalam kontrak murabahah, penjual harus memberitahukan
harga produk yang ia beli dan menen-tukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya. Kontrak murabahah dapat
dilakukan untuk pembelian secara pemesanan, yang biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian. Hal
dimaksud, diistilah oleh Imam Syafi'i dalam kitab Al-Um, seperti yang dikutip oleh Abd ar-Rahman al-Jazīri jual-bli
demikian dikenal dengan istilah al-amru
bi al-syira.
Secara umum, nasabah pada perbankan Syariah mengaju-kan
permohonan pembelian suatu barang. Di mana barang tersebut akan dilunasi oleh
pihak bank Syariah kepada penjual, sementara nasabah bank Syariah melunasi
pembiayaan tersebut kepada bank syariah dengan menambah sejumlah margin kepada
pihak bank sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada perjanjian murabahah yang telah disepakati
sebelumnya antara nasabah dengan bank Syariah. Setelah itu pihak nasabah dapat
melunasi pembiayaan tersebut baik dengan cara tunai maupun dengan cara kredit.
Keabsahan jual-beli berdasarkan murabahah adalah keten-tuan al-Qur’an yang terjemahnya: “. . .
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba . . . .” (ayat,
al-Baqarah:275). Di samping al-Qur’an ada ketentuan hadis yang membenarkan jual
beli murabahah yang artinya: “Dari Shuaib al-Rumi r.a bahwa
Rasulullah SAW bersabda “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan jual beli
secara tangguh, muqaradah dan mencampur tepung dengan gandum untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual” (H
R Ibnu Majah).
d)
Bai
bi as-saman ‘Ajil
Bai bi as-saman ‘Ajil adalah suatu
perjanjian pembiayaan yang disepakati antara bank dengan nasabahnya, yaitu
pihak bank menyediakan dana untuk pembelian barang/aset yang dibutuhkan oleh
nasabah untuk mendukung suatu usaha atau suatu proyek. Selanjutnya nasabah akan
membayar secara kredit dengan mark-up yang didasarkan atas opportunity
cost project (selanjutnya disebut OCP).
e)
Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu. Masing-masing
pihak dalam melakukan usaha dimaksud, memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai kesepa-katan ketika melakukan akad. Akad jenis ini juga di sebut dengan profit
& loss sharing.
Dalam prakteknya, terdapat dua jenis musyarakah,
yakni musyarakah pemilikan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah
pemilikan tercipta karena wasiat, warisan, atau kondisi lainnya yang berakibat
pada pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah
jenis ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam sebuah aset nyata,
dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan. Sementara musyarakah akad
akan tercipta dengan cara kesepakatan dua orang atau lebih untuk setuju
mengumpulkan modal musyarakah berdasarkan asas sepakat berbagi keuntungan dan
kerugian.
D. Produk – Produk Bank Syariah
Berikut ini jenis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah
sebagai berikut:
a)
Al-wadi’ah (Simpanan)
b)
Pembiayaan Dengan Bagi Hasil
d)
Bai’as-Salam
e)
Bai’al Istishna’
f)
Al-Ijarah (Leasing)
g)
Al-Wakalah (Amanat)
h)
Al-Kafalah (Garansi)
i)
Al-Hawalah
j)
Ar-Rahn
Penjelasan:
a)
Al-wadi’ah
(Simpanan)
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan,
merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si penitip
menghendaki.Penerima simpanan disebut yad al-amanah yang artinya tangan
amanah. Si penyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan
yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan. Penggunaan uang
titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan
catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang tersebut secara
utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad
adh-dhamanah (tangan penanggung). Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah
wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadh’ah
dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah harta titipan
tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, sedangkan dhamanah yang dititipi
(bank) boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasi hukumnya sama
dengan qardh, dimanan nasabah meminjamkan uang kepada bank. Pemilik dana tidak
mendapat imbalan tapi insentif yang tidak diperjanjikan. Dalam praktiknya
nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus
untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan
nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.
b)
Pembiayaan
Dengan Bagi Hasil
1.
Al-musyarakah (Partisipasi Modal)
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan dana atau amal
dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.
Al-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal
pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama
menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek
dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan
dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan
investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.
2.
Al-mudharabah
Pengertian Mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah akad atau
perjanjian diantara dua belah pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal
(shahib al-mal atau al-mal), memercayakan kepada pihak kedua atau pihak lain
(pengusaha), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Apabila mengalami
kerugian maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian pengelola, maka sipengelolalah yang bertanggug jawab.Dan didalam
prktiknya mudharabah terbagi menjadi 2 macam, yakni:
1)
mudharabah
muthlaqah
merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih
luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
2)
mudharabah
muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain
dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis. Dalam dunia perbankan
Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan
seperti, pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari
simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana
juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan.
Dan keistmewaan dari sebuah mudharabah adalah pada peran ganda dari mudharib,
yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra. Mudharib adalah wakil dari rabb al- mal dalam setiap transaksi yang
ia lakukan pada harta mudharabah. Mudharib kemudian menjadi mitra dari rabb
al-mal ketika ada keuntungan.
3.
Al-muzara’ah
Pengertian AI-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada
penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari
hasil panen. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan
bidang plantation atas dasar bagi hasil panen. Pemilik lahan dalam hal ini
menyediakan lahan, benih, dan pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian,
tenaga, dan waktu. Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang
telah disepakati.
4.
Al-musaqah
Pengertian AI-musaqah merupakan bagian dari al-muza’arah yaitu
penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan
menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari
persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama
pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.
c)
Bai’al
Murabahah
Pengertian Bai’al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada
harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual
harus terlebih dulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah keuntungan
yang diinginkannya.
Sebagai contoh harga pokok barang “X” Rp 100.000,-. Keuntungan
yang diharapkan adalah sebesar Rp 5.000,-, sehingga harga jualnya Rp
105.000,-. Kegiatan Bai’al-Murabahah ini baru dilakukan setelah ada kesepakatan
dengan pembeli, baru kemudian dilakukan pemesanan. Dalam dunia perbankan
kegiatan Bai’al-Murabahah pada pembiayaan produk barang-barang investasi baik
dalam negeri maupun luar negeri seperti Letter of credit atau lebih dikenal
dengan nama L/C.
d)
Bai’as-Salam
Bai’as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian
hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah
harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal
pembayaran harus dalam bentuk uang.
e)
Bai’al
Istishna’
Bai’ Al istishna’ merupakan bentuk khusus dari akad Bai’assalam,
oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna’ mengikuti ketentuan dan
aturan Bai’as-salam. Pengertian Bai’ Al istishna’ adalah kontrak penjualan
antara pembeli dengan produsen (pembuat barang). Kedua belah pihak harus
saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran.
Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat
dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.
f)
Al-Ijarah
(Leasing)
Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan
oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial
lease.
g)
Al-Wakalah
(Amanat)
Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau
pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus dilakukan
sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi mandat.
h)
Al-Kafalah
(Garansi)
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat
pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak
lain. Dalam dunia perbankan dapat dilakukan dalam hal pembiayaan dengan
jaminan seseorang.
i)
Al-Hawalah
Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang berutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan
beban utang dari satu pihak kepada lain pihak. Dalam dunia keuangan atau
perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.
j)
Ar-Rahn
Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini
dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.
Selain itu produk pemberian jasa lainnya, seperti:
1.
Jasa penerbitan L/
2.
Jasa Transfe
3.
Jasa Inkas
4.
Bank Garansi
5.
Menerima Zakat, Infak, dan Sadaqoh (untuk disalurkan)
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk
Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk yang berkaitan
dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
a)
Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan
syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan
penggunaannya yaitu:
1.
Transaksi pembiayaan yang
ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
2.
Transaksi pembiayaan yang
ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
3.
Transaksi pembiayaan
untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan
jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di
depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang
termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli
seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan
prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat
keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip
bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil
yang disepakati di muka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini
adaiah musyarakah dan mudharabah.
1.
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan
kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan
bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu
penyerahan barang seperti:
a.
Pembiayaan Murabahah
Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal
sebagai murabahah. Murabahah berasal dari kata ribhu
(keuntungan) adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah
keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai
pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan.
Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga
jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat
berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya
dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam
transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran
dilakukan secara tangguh.
b.
Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan
belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan
pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah
sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi
ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan
secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka
bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri
secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga
beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara
tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing).
Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus
menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan
dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya
akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada
seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali
secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum Salam:
·
Pembelian hasil produksi
harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu
dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan
harga Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
·
Apabila hasil produksi
yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus
bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah
diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
·
Mengingat bank tidak
menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory),
maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak
ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan.
Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.
c.
Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna
pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin)
pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada
pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ketentuan umum:
·
Spesifikasi barang
pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual
yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah
selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan
terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya
tambahan tetap ditanggung nasabah.
2.
Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada
dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek
transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya
kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah
muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
3.
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan
syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a.
Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah
atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah
dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai
asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah
adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka
secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud
maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa
dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship),
kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment)
, atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill),
kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang
dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi
masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini
sangat fleksibel.
Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan
dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan
kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya
untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan seperti:
·
Menggabungkan dana proyek
dengan harta pribadi.
·
Menjalankan proyek
musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
·
Memberi pinjaman kepada
pihak lain.
·
Setiap pemilik modal
dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain.
·
Setiap pemilik modal
dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
Ø Menarik diri dari perserikatan
Ø Meninggal dunia,
Ø Menjadi tidak cakap hukum
·
Biaya yang timbul dalam
pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan
dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi
kontribusi modal.
·
Proyek yang akan dijalankan
harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana
tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b.
Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk
kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan
kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal
dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus
bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi
akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada
besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu.
Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam
musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudharabah
dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang
menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya
masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan
setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan
ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam.
Ketentuan umum
·
Jumlah modal yang
diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat
berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila
modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati
bersama.
·
Hasil dan pengelolaan
modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
Ø (Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
Ø (Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
·
Hasil usaha dibagi sesuai
dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati.
Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian
dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan
penyalahgunaan dana.
·
Bank berhak melakukan
pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan
pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya
tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban, dapat
dikenakan sanksi administrasi.
c.
Mudharabah
Muqayyadah
Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan
persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pada adanya pembatasan
penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
4.
Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad
pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun
ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta
pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a.
Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam
praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat
ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian
yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang
berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang
berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya
kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier
akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank
akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
b.
Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali
kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang
digadaikan wajib memenuhi kriteria :
·
Milik nasabah sendiri.
·
Jelas ukuran, sifat, dan
nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
·
Dapat dikuasai namun
tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan
barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak
barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka
nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang
digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang
tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya,
maka kelebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil penjualan tersebut
lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi kekurangannya.
c.
Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam
perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
·
Sebagai pinjaman talangan
haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi
syarat penyetoran. Biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya
ke haji.
·
Sebagai pinjaman tunai (cash
advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi
keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan
mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
·
Sebagai pinjaman kepada
pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha
bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi
hasil.
·
Sebagai pinjaman kepada
pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan
terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara
cicilan melalui pemotongan gajinya.
d.
Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa
tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang. Bank dan nasabah
yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk
pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian
L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah,
salam, ijarah, mudharabah, atau musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali
kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah. Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank tidak
boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali
dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah
bank. Setiap tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus
dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat
pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa
berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan
bank.
e.
Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu
kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan
sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula
menerima dana tersebut dengan prinsip wadi ah. Bank mendapatkan
pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
b)
Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan
deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana
masyarakat adalah prinsip wadi ah dan mudharabah.
1.
Prinsip Wadiah
Prinsip Wadi’ah yang diterapkan adalah wadi ah yad dhamanah
yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah
berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada
prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan
dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank)
bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan
harta titipan tersebut.
Karena wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga
disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh,
dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak
sebagai yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam
ketika menerima titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.
Ketentuan umum
dari produk ini adalah:
·
Keuntungan atau kerugian
dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik
dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan
memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana
masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
·
Bank harus membuat akad
pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan
persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro,
dan debit card.
·
Terhadap pembukaan
rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar
menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
·
Ketentuan-ketentuan lain
yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
2.
Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan
bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib
(pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan murabahah
atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana
tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil
usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal
bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank
bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi2. Rukun mudharabah
terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan
dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mudharabah ini
diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah
terbagi tiga yaitu:
a.
Mudharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan
deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah
dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan
bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Ketentuan umum
dalam produk ini adalah:
·
Bank wajib memberitahukan
kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan
atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan
dana. Apabila telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan
dalam akad.
·
Untuk tabungan
mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan,
serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito
mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet)
deposito kepada deposan.
·
Tabungan mudharabah dapat
diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati,
namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
·
Deposito mudharabah hanya
dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang
diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito
baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak
perlu dibuat akad baru.
·
Ketentuan-ketentuan yang
lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
b.
Mudharabah
Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted
investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu
yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis
tertentu, atau disyaratkan digunakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan
digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik
jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
·
Pemilik dana wajib
menetapkan syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank wajib membuat akad
yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.
·
Bank wajib memberitahukan
kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan
atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan
dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan
dalam akad.
·
Sebagai tanda bukti
simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana
dari rekening lainnya.
·
Untuk deposito
mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet)
deposito kepada deposan.
c.
Mudharabah
Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah
langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger)
yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana
dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam
mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksana usahanya.
Karakteristik
jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
·
Sebagai tanda bukti
simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana
dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam
rekening administratif.
·
Dana simpanan khusus
harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
·
Bank menerima komisi atas
jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana
usaha berlaku nisbah bagi hasil
3.
Akad Pelengkap
Untuk mempermudah
pelaksanaan penghimpunan dana, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap
ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti
biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
E. Produk – Produk Bank Konvensional
Produk – produk Bank Umum adalah
antara lain :
a)
Simpanan Giro (Demand Deposit), merupakan simpanan pada bank yang
penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek atau bilyet giro.
b)
Simpanan Tabungan (Saving Deposit), merupakan simpanan pada bank yang
penarikan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Penarikan
tabungan dilakukan menggunakan buku tabungan, slip penarikan, kuitansi atau
kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
c)
Simpanan Deposito (Time Deposit), merupakan simpanan yang memiliki
jangka waktu tertentu (jatuh tempo). Penarikannya pun dilakukan sesuai jangka
waktu tersebut. Dalam praktiknya jenis deposito terdiri dari deposito
berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call.
d)
Kredit Investasi, merupakan kredit yang diberikan
kepada pengusaha yang melakukan investasi atau penanaman modal.
e)
Kedit Modal Kerja merupakan kredit yang digunakan
sebagai modal usaha.
f)
Kredit Perdagangan merupakan kredit yang diberikan kepada
para pedagang dalam rangka memperlancar atau memperluas atau memperbesar
kegiatan perdagangannya.
g)
Kredit Produktif merupakan kredit yang dapat berupa
investasi, modal keda atau perdagangan.
h)
Kredit Konsumtif merupakan kredit yang digunakan untuk
keperluan pribadi misainya keperluan konsumsi, baik pangan, sandang maupun
papan.
i)
Kredit Profesi merupakan kredit yang diberikan kepada
para kalangan profesional seperti dosen, dokter atau pengacara.
Produk Perbankan Umum
|
Produk Perbankan Syariah
|
Simpanan Giro
Simpanan Tabungan
Simpanan Deposito
Krdit Investasi
Krdit Modal Kerja
Kredit perdagangan
Kredit produktif
Kredit Konsumtif
Kredit profesi
|
Pembiayaan Murabahah
Salam
Istishna
Ijarah
Musyarakah
Mudharabah
Hiwalah
Rahn
Qard
Wakalah
Kafalah
|
F. Kelebihan Bank Syariah dibanding Bank Konvensional
a)
Akad dan aspek legalitas
Di
dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan
ukrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Di
dalam perbankan syariah, apabila pihak-pihak yang melakukan akad atau transaksi
melanggar kesepakatan / perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani,
maka konsekwensi hukum yang akan diterima tidak hanya ketika hidup di dunia
saja tetapi juga kelak di hari kiamat. Semua hal dan pihak-pihak, baik barang,
jasa maupun pelaku-pelaku yang terlibat dalam setiap akad transaksi perbankan
syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan syari’ah sebagai berikut:
1.
Rukun: penjual, pembeli, barang, harga
dan akad (ijab-qabul / transaksi)
2.
Syarat-syarat, yaitu:
1)
Barang dan jasa harus halal. Karena
itu segala bentuk akad / transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi
batal / haram demi syari’ah.
2)
Harga barang dan jasa harus jelas.
3)
Tempat penyerahan (delivery) harus
jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
4)
Barang yang menjadi obyek transaksi
harus sepenuhnya dalam kepemilikan yang sah. Tidak diperbolehkan oleh syari’ah
melakukan akad / transaksi jual beli atas barang atau sesuatu yang belum
dimiliki atau dikuasai, seperti yang terjadi pada transaksi short sale di pasar
modal.
b)
Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda
dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terjadi perselisihan
antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di
Pengadilan Negeri, tetapi di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Lembaga inilah yang mengatur penyelesaian sengketa yang terjadi antara
perbankan syariah dan nasabahnya. Lembaga ini didirikan atas kerjasama antara
Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Karena
itu, BASYARNAS dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut perbankan syariah
mengacu kepada hukum materi syari’ah. Penyelesaian sengeketa melalui BASYARNAS
sesuai dengan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi:" Dalam
hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesain sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad". Maka jika dalam akad dituangkan bahwa penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, hal ini dimungkinkan terjadi sesuai dengan kesepakatan para pihak
yaitu bank dan nasabah.
Selain
itu dengan amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, maka penyelesaian sengketa
dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Hal ini dimungkinkan karena
undang-undang tersebut secara eksplisit dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa
Pengadilan Agama dapat menyelesaiakan sengketa ekonomi Islam. Hal ini juga
dituangkan dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi:
"Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama".
c)
Struktur Organisasi
Bank
syariah diperkenankan untuk memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank
konvensional, misalnya adanya dewan komisaris dan direksi. Namun, di sisi lain
terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara struktur organisasi yang
dimiliki bank syariah dan bank konvensional. Perbedaan yang mendasar itu adalah
bahwa di dalam struktur organisasi perbankan syariah harus ada Dewan Pengawas
Syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan
Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas pendapat atau
opini yang dikemukakan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya
penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang
Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi
dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Struktur organisasi tersebut terbagi atas:
1.
Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Fungsi
utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah mengawasi jalannya operasional
bank syariah sehari-hari agar selalu sesuai dengan petunjuk dan
ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Hal ini, karena akad / transaksi yang
berlaku di dalam sistem perbankan syariah sangat berbeda dengan akad /
transaksi yang berlaku di dalam perbankan konvensional. Dalam kaitan ini, dalam
sistem perbankan syariah diperlukan garis-garis panduan (guidelines) yang
berbeda pula dengan sistem perbankan konvensional. Garis panduan ini disusun
dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional. Dalam pada itu, Dewan Pengawas
Syariah (DPS) harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya setiap tahun)
bahwa bank syariah yang diawasi telah berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan
syari’at Islam. Pernyataan DPS ini disampaikan dalam buku laporan tahunan
(annual raport) bank yang bersangkutan. Tugas lain Dewan Pengawas Syariah (DPS)
adalah meneliti dan membuat rekomendasi atas produk baru bank syariah yang
diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama atas
produk yang telah diteliti dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
2.
Dewan Syariah Nasional (DSN)
Dewan
Syariah Nasional (DSN) dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi
dari Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini
merupakan lembaga otonomi di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dipimpin
oleh Ketua Umum MUI dan seorang sekertaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari
Dewan Syariah Nasional (DSN) ini dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan
seorang ketua dan sekertaris serta beberapa anggota. Fungsi utama Dewan Syariah
Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai
dengan syari’at Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi perbankan syariah,
tetapi juga mengawasi lembaga-lembaga keuangan syariah lain, seperti asuransi,
reksadana, modal ventura dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut,
Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari
sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi
Dewan Pengawas Syariah yang terdapat di setiap lembaga-lembaga keuangan syariah
dan menjadi dasar acuan dalam pengembangan produk-produknya. Selain itu, Dewan
Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi kepada para ulama yang akan
ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah
tertentu. Dewan Syariah Nasional dapat memberikan teguran kepada lembaga
keuangan syariah yang dipandang telah menyimpang dari garis panduan perbankan
syariah dan petunjuk syari’at Islam. Hal ini dilakukan setelah menerima dan
mendapat laporan dari Dewan Pengawas Syariah lembaga keuangan atau perbankan
syariah yang bersangkutan. Jika lembaga keuangan atau perbankan syariah
tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional
dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan
Departemen Keuangan, untuk memberikan saksi hukum yang berlaku agar lembaga
keuangan atau perbankan syariah tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan yang
lebih jauh dari ketentuan dan petunjuk syari’ah.
d)
Bisnis dan Usaha yang Dibiayai
Perbankan Syariah.
Di
dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari
ketentuan dan petunjuk syari’ah. Karena itu, bank syariah tidak diperkenankan
membiayai bisnis dan usaha yang diharamkan oleh syari’ah. Lembaga keuangan
syariah dan perbankan syariah tidak akan memperhatikan permohonan pembiayaan
dari suatu usaha atau bisnis sebelum mendapatkan kejelasan dan kepastian akan
beberapa hal pokok sebagai berikut:
1.
Apakah obyek pembiayaan itu halah atau
haram?
2.
Apakah proyek yang akan dibiayai itu
menimbulkan madharat atau tidak?
3.
Apakah proyek yang akan didanai
berkaitan dengan perbuatan zina / asusila lainnya?
4.
Apakah proyek itu berkaitan dengan
perjudian?
5.
Apakah proyek yang akan dibiyai itu
berkaitan dengan pembuatan senjata ilegal?
6.
Apakah proyek itu dapat merugikan
syi’ar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung?
7.
Mengenai jenis dan kegiatan usaha bank
syariah diatur dalam Pasal 18-23 UU No. 21 Tahun 2008. sedangkan bagi Bank
Syariah diatur dalam Pasal 24-26.
G. Keunggulan dan Kelemahan Antara Bank Syariah dan Konvensional
a)
Keunggulan
Bank Syariah
Bank syariah
memiliki beberapa keunggulan yaitu sebagai berikut :
1.
Bank syariah relatif
lebih mudah merespons kebijaksanaan pemerintah.
2.
Terhindar dari praktik
moneu laundring.
3.
Bank syariah lebih
mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya.
4.
Tidak mudah dipengaruhi
gejolak moneter.
5.
Mekanisme bank syariah
didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan dan kebersmaan.
b)
Kelemahan
Bank Syariah
Bank syariah
memiliki beberapa kelemahan diantaranya sebagai berikut :
1.
Jaringan kantor bank
syariah belum luas.
2.
SDM bank syariah masih
sedikit.
3.
Pemahaman masyarakat
tentang bank syariah masih kurang.
4.
Kekeliruan penilaian
proyek berakibat lebih besar daripada bank konvensional.
c)
Keunggulan
Bank Konvensional
Keunggulan Bank
konvensional adalah sebagai berikut :
1.
Dukungan peraturan
perundang – undangan yang mapan sehingga bank dapat bergerak lebih pasti.
2.
Banyaknya bank
konvensional menggairahkan persaingan.
3.
Nasabah telah terbiasa dengan
sistem bunga tidak dengan metode bagi hasil yang relatif baru.
4.
Bank konvensional lebih
kreatif membuat produk – produk baru.
5.
Metoe bunga telah lama
dikenal masyarakat.
d)
Kelemahan
Bank Konvensional
Bank konvensional
memiliki beberapa kelemahan diantaranya sebagai berikut :
1.
Adanya praktek sfekulasi
tanpa perhitungan.
2.
Kredit bermasalah.
3.
Praktik curang.
4.
Faktor manajemen
BUNGA
|
BAGI
HASIL
|
|
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad
dengan asumsi harus selalu untung
|
a.
Penentuan besarnya rasio/ nis-bah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung
atau rugi
|
|
b. Besarnya persentase berdasar-kan pada
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
|
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada
jumlah keuntungan yang diperoleh
|
|
C Pembayaran bunga tetap se-perti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi.
|
c. Bagi
hasil tergantung pada keuntungan proyek yang di-jalankan. Bila usaha merugi,
ke-rugian akan ditanggung ber-sama oleh kedua belah pihak.
|
|
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi se-dang
"booming".
|
d. Jumlah pembagian
laba me-ningkat sesuai dengan pe-ningkatan jumlah penda-patan.
|
|
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak
dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
|
E
Tidak ada yang
meragukan keabsahan bagi hasil
|
[3]
Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa
dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997. Hlm.1