Jumat, 08 Mei 2015

BANK KONVEN DAN SYARIAH



A.       Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah

1.         Bank Konvensional
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris “convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang di ambil oleh Bank konvensional menjadi riba, sedangkan riba dalam sistem ekonomi Islam adalah sesuatu yang diharamkan, karena mengambil sesuatu yang bukan hak milik demi mendapatkan keuntungan sama saja dengan mencuri. Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[1]
2.         Bank syariah
Bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang) adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal – hal yang dilarang syariah. Dalam praktik perbankan konvesional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional memang tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktik bank konvensional dapat digolonglan sebagai transaksi ribawi.[2]
Antonio dan perwataadmadja membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariat Islam. Bank Syari’ah adalah

1)        Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam
2)        Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits
Sementara Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah  secara Islam. Dikatakan lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsure riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[3]

B.       Prinsip – Prinsip Bank Syariah dan Bank Konvensional

Berikut ini prinsip-prinsip yang berlaku pada bank syariah:
a)        Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).
b)        Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah).
c)         Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah).
d)        Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah).
e)        Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
a)        Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
b)        Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah.

C.       Perbedaan Cara Kerja Bank Konvensional dan Bank Syariah

a)        Dengan prinsip titipan atau simpanan, Al-wadi'ah
Pada bank Syari'ah, Al-wadi'ah diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik secara individu maupun dengan badan hukum. Titipan ini harus dijaga dan akan dikembalikan pada saat si penitip menginginkannya. Dalam perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan, sesuai kebijakan dari bank yang bersangkutan. Hal ini dilakukan guna merangsang semangat masyarakat untuk menabung, juga menjadi indikator kesehatan bank. Pemberian bonus ini tidak dilarang, yang penting tidak disyaratkan sebelumnya, serta jumlahnya tidak ditetapkan secara nominal atau dalam persentasi secara advance, artinya harus betul-betul merupakan kebijakan dari bank.
Pada bank Konvensional, hal ini disebut produk giro, dimana bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini dan sebagai konsekuensinya, semua keuntungan yang diperoleh dari dana simpanan atau titipan tersebut akan menjadi milik bank. Sedangkan si penyimpan atau penitip akan mendapatkan jaminan keamanan (titipannya) serta fasilitas-fasilitas giro lain.
b)        Dengan prinsip bagi hasil (profit-sharing), Al-Mudharabah
Dalam bank Syariah, al-mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara dua belah pihak, yang mana pihak pertama menyediakan 100 persen modal, dan pihak lainnya (kedua) menjadi pengelola. Kemudian keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang telah disepakati dan dituangkan dalam kontrak, sedangkan jika rugi, akan ditanggung oleh si pemilik modal selama kerugian tersebut terjadi bukan karena kelalaian si pengelola. Dan jika kerugian itu diakibatkan oleh adanya kecurangan atau kelalian si pengelola, maka barulah si pengelola bertanggungjawab atas semua kerugian tersebut. Pada penghimpunan dana, prinsip al-mudharabah diterapkan pada produk tabungan dan deposito. Dan pada segi pembiayaan, diaplikasikan untuk pembiayaan modal kerja. Dengan menempatkan dana (tabungan atau deposito), pemilik dana akan mendapatkan nisbah bagian keuntungan. Sedangkan untuk pembiayaan, jika seseorang pedagang ingin mendapatkan pinjaman modal untuk usaha, maka boleh mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti al-mudharabah. Dengan cara menghitung terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan dihasilkan oleh nasabah dari usaha tersebut. Kemudian dari pendapatan itu harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan pengembalian modal, dan selebihnya akan dibagi antara bank dengan nasabah, tentu saja dengan kesepakatan awal, misalnya 60 % untuk nasabah dan 40 % untuk bank.
Dalam bank Konvensional, tidak ada istilah nisbah bagi hasil, yang ada adalah istilah "bunga", bunga ini akan diperoleh dari semua kegiatan, baik berupa tabungan, deposito atau pinjaman.
c)         Dengan Al-Musyarakah
Dalam bank syariah, sistem Al-musyarakah ini terjadi karena kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu. Semua pihak yang terlibat atau yang bekerjasama harus memberikan kontribusi untuk modal. Keuntungan dan segala risiko usaha, akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah disepakati. Intinya adalah bank syariah dan nasabah secara bersama-sama memberikan modal untuk membentuk suatu usaha yang keuntungannya akan dibagi sesuai kesepakatan.
Dalam bank konvensional, sistem ini dikenal sebagai sarana pembiayaan, atau yang disebut dengan kredit modal kerja.


d)        Dengan prinsip Al-Murabahah
Dalam bank syariah, sistem Al-muharabah yaitu terjadi transaksi jual-beli suatu barang dengan harga asal serta tambahan keuntungan yang nilainya telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini pembeli harus memberitahu harga awal produk yang ia beli, kemudian menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan. Contohnya, jika Anda ingin kredit untuk pembelian mobil. Dalam sistem syariah menggunakan prinsip jual beli, bank yang menalanginya dulu, kemudian saat dijualkan pada Anda akan diberikan dengan harga sedikit lebih mahal, sebagai keuntungan buat bank. Sehingga cicilan yang diberikan akan relatif tetap, tidak ada perubahan.
Dalam bank konvensional, untuk hal ini Anda akan dikenakan bunga dan juga diharuskan membayar cicilan bulanan selama jangka waktu tertentu atau lebih dikenal dengan kredit. Dan bisa jadi suku bunga yang berlaku mungkin saja berubah, sehingga membuat cicilan kadang-kadang berubah sesuai suku bunga.
Bank syariah mempunyai beberapa bentuk penghimpunan dana berdasarkan prinsip-prinsip yang terdiri atas:
a)        Wadi'ah
Wadi'ah dalam tradisi fikih Islam, dikenal dengan prinsip titipan atau simpanan. Wadi'ah dapat juga diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik sebagai individu maupun sebagai suatu badan hukum. Titipan dimaksud, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghen-daki. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sifat-sifat dari wadi'ah, merupakan produk perbankan Syariah berbentuk giro yang merupakan titipan murni (yad damanah).
Bila si penitip barang dimaksud, memberi izin kepada bank untuk memanfaatkan barang titipan itu, maka sebagai konseku-ensi dari titipan murni tersebut, bila pihak bank (pengelola) memperoleh penghasilan atas pengelolaan dimaksud, maka keuntungan atau laba tersebut sepenuhnya adalah milik bank. Kemudian bank atas kehendaknya sendiri tanpa perjanjian dan understanding di muka, dapat memberikan bonus kepada para nasabahnya.
Wadi’ah pada dasarnya adalah berfungsi untuk penitipan barang saja, karena pada zaman Rasulullah tujuan-tujuan wadi’ah hanya demikian, tetapi tetap ada kasus yang membo-lehkan dana titipan diinvestasikan, dengan ketentuan bahwa dana yang digunakan sebagai wadi’ah dikembalikan seutuhnya kepada pemilik. Karena itu, wadi’ah dalam pengertian teknikal adalah harta yang dititipkan kepada seseorang untuk tujuan disimpan, sehingga dana yang disimpan tersebut tidak boleh digunakan pada dasarnya, tetapi kalau pemilik mengizinkan dananya digunakan, maka penyimpan boleh saja mengguna-kannya, demikian disebutkan dalam al-Majallah dan keuntung-an yang diperoleh dapat dimanfaatkan oleh penyimpan; Namun bila terjadi kerugian maka penyimpan bertanggungjawab sepenuhnya untuk mengganti kerugian itu.

Dasar hukum wadi’ah adalah Firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat an-Nisa: 58 sebagai berikut.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا . . . .
 Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”.
Ayat dimaksud, dapat dijadikan dasar hukum bahwa wadi’ah merupakan salah satu akad yang dibenarkan oleh hukum Islam dan dalam ayat lain disebutkan oleh Allah dalam Al Qurán surat al-Baqarah: 283 sebagai berikut.
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian lain maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah”
b)        Mudharabah
Mudarabah berasal dari kata darb yang artinya memukul. Atau lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Secara teknis, mudarabah adalah sebuah akad kerjasama antar pihak, yaitu pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal; sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdurrahmān Al-Jazīri yang memberikan arti mudarabah sebagai ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain sebagai modal usaha. Namun, keuntungan yang diperoleh akan dibagi di antara mereka berdua, dan jika rugi ditanggung oleh pemilik modal.
Keuntungan usaha secara mudharabah, dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama bukan akibat kelalaian si pengelola. Tetapi seandainya kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kecurangan pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Dalam akad mudharabah, untuk produk pembiayaan, juga dinamakan dengan profit sharing.
Dasar hukum (legal aspect) mudharabah adalah bersum-ber dari al-Qur’an surat al-Muzammil: 20 sebagai berikut.
. . . وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي اْلأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ . . . .
Dan sebagian dari pada mereka orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian dari karunia Allah”
Selain itu, Hadis Nabi Muhammad Saw yang artinya: diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib, jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan menjalani lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut maka yang bersangkutan bertangungungjawab atas dana tersebut, disampaikanlah syarat tersebut kepada Rasulullah, beliau membolehkannya (Maksud hadits HR Tabrani).
Mudharabah terbagi kepada dua bagian, yaitu: pertama mudharabah mutlaqah, yaitu perjanjian kerja sama antara sahibul mal dan mudharib tidak dibatasi dengan spesifikasi usaha, tempat dan waktu selagi dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum syara’, kedua adalah mudharabah muqayyadah, yaitu usaha kerjasama ini dalam perjanjiannya akan dibatasi sesuai dengan kehendak sahibulmal, selagi dalam bentuk bentuk yang dihalalkan.
Filosofi Mudharabah, yaitu manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Ada orang yang mempunyai kelebihan harta, ada orang yang kekurangan harta, ada orang yang punya keahlian, tetapi tidak memiliki modal untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan, ada orang yang punya modal tetapi tidak punya waktu untuk mengurus sebagian hartanya. Untuk terjadinya keseimbangan, yang berpunya perlu membantu orang yang kurang dengan cara yang adil, sebab itu Islam menawarkan berbagai solusi agar tidak terdapat kesen-jangan ditengah masyarakat, maka mudharabah merupakan bagian dari pada cara yang ditawarkan Islam.
c)         Murabahah (Pembiayaan dengan Marjin)
Murabahah merupakan salah satu bentuk menghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan Syariah, baik untuk kegiatan usaha yang bersifat produktif, maupun yang bersifat konsumtif. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dan tidak terlalu memberatkan calon pembeli. Dalam kontrak murabahah, penjual harus memberitahukan harga produk yang ia beli dan menen-tukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Kontrak murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan, yang biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian. Hal dimaksud, diistilah oleh Imam Syafi'i dalam kitab Al-Um, seperti yang dikutip oleh Abd ar-Rahman al-Jazīri jual-bli demikian dikenal dengan istilah al-amru bi al-syira.
Secara umum, nasabah pada perbankan Syariah mengaju-kan permohonan pembelian suatu barang. Di mana barang tersebut akan dilunasi oleh pihak bank Syariah kepada penjual, sementara nasabah bank Syariah melunasi pembiayaan tersebut kepada bank syariah dengan menambah sejumlah margin kepada pihak bank sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada perjanjian murabahah yang telah disepakati sebelumnya antara nasabah dengan bank Syariah. Setelah itu pihak nasabah dapat melunasi pembiayaan tersebut baik dengan cara tunai maupun dengan cara kredit.
Keabsahan jual-beli berdasarkan murabahah adalah keten-tuan al-Qur’an yang terjemahnya: “. . . Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba . . . .” (ayat, al-Baqarah:275). Di samping al-Qur’an ada ketentuan hadis yang membenarkan jual beli murabahah yang artinya: Dari Shuaib al-Rumi r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan jual beli secara tangguh, muqaradah dan mencampur tepung dengan gandum untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (H R Ibnu Majah).
d)        Bai bi as-saman ‘Ajil
Bai bi as-saman ‘Ajil adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara bank dengan nasabahnya, yaitu pihak bank menyediakan dana untuk pembelian barang/aset yang dibutuhkan oleh nasabah untuk mendukung suatu usaha atau suatu proyek. Selanjutnya nasabah akan membayar secara kredit dengan mark-up yang didasarkan atas opportunity cost project (selanjutnya disebut OCP).
e)        Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak dalam melakukan usaha dimaksud, memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepa-katan ketika melakukan akad. Akad jenis ini juga di sebut dengan profit & loss sharing.
Dalam prakteknya, terdapat dua jenis musyarakah, yakni musyarakah pemilikan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena wasiat, warisan, atau kondisi lainnya yang berakibat pada pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah jenis ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam sebuah aset nyata, dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan. Sementara musyarakah akad akan tercipta dengan cara kesepakatan dua orang atau lebih untuk setuju mengumpulkan modal musyarakah berdasarkan asas sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.

D.      Produk – Produk Bank Syariah

Berikut ini jenis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
a)        Al-wadi’ah (Simpanan)
b)        Pembiayaan Dengan Bagi Hasil
c)         Bai’al Murabahah
d)        Bai’as-Salam
e)        Bai’al Istishna’
f)          Al-Ijarah (Leasing)
g)        Al-Wakalah (Amanat)
h)        Al-Kafalah (Garansi)
i)          Al-Hawalah
j)          Ar-Rahn

Penjelasan:
a)        Al-wadi’ah (Simpanan)
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.Penerima sim­panan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si pe­nyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan keru­sakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kela­laian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan. Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang ter­sebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung). Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadh’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, sedangkan dhamanah yang dititipi (bank) boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimanan nasabah meminjamkan uang kepada bank. Pemilik dana tidak mendapat imbalan tapi insentif yang tidak diperjanjikan. Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.
b)        Pembiayaan Dengan Bagi Hasil
1.        Al-musyarakah (Partisipasi Modal)
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau le­bih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak membe­rikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Al-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.

2.        Al-mudharabah
Pengertian Mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah akad atau perjanjian diantara dua belah pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal (shahib al-mal atau al-mal), memercayakan kepada pihak kedua atau pihak lain (pengusaha), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Apabila mengalami kerugian maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, maka sipengelolalah yang bertanggug jawab.Dan didalam prktiknya mudharabah terbagi menjadi 2 macam, yakni:
1)        mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
2)        mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis. Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan mo­dal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan. Dan keistmewaan dari sebuah mudharabah adalah pada peran ganda dari mudharib, yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra. Mudharib adalah wakil dari rabb al- mal dalam setiap transaksi yang ia lakukan pada harta mudharabah. Mudharib kemudian menjadi mitra dari rabb al-mal ketika ada keuntungan.
3.        Al-muzara’ah
Pengertian AI-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan ka­sus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen. Pemilik lahan dalam hal ini menyediakan lahan, benih, dan pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu. Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah disepakati.
4.        Al-musaqah
Pengertian AI-musaqah merupakan bagian dari al-muza’arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pe­meliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.
c)         Bai’al Murabahah
Pengertian Bai’al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus terlebih dulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya.
Sebagai con­toh harga pokok barang “X” Rp 100.000,-. Keuntungan yang diharap­kan adalah sebesar Rp 5.000,-, sehingga harga jualnya Rp 105.000,-. Kegiatan Bai’al-Murabahah ini baru dilakukan setelah ada kesepa­katan dengan pembeli, baru kemudian dilakukan pemesanan. Dalam dunia perbankan kegiatan Bai’al-Murabahah pada pembiayaan pro­duk barang-barang investasi baik dalam negeri maupun luar negeri seperti Letter of credit atau lebih dikenal dengan nama L/C.


d)        Bai’as-Salam
Bai’as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemu­dian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
e)        Bai’al Istishna’
Bai’ Al istishna’ merupakan bentuk khusus dari akad Bai’as­salam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan Bai’as-salam. Pengertian Bai’ Al istishna’ adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat ba­rang). Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.
f)          Al-Ijarah (Leasing)
Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas ba­rang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease.
g)        Al-Wakalah (Amanat)
Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pem­beri mandat.
h)        Al-Kafalah (Garansi)
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung ke­pada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat di­lakukan dalam hal pembiayaan dengan jaminan seseorang.
i)          Al-Hawalah
Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang ber­utang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pi­hak. Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.
j)          Ar-Rahn
Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.


Selain itu produk pemberian jasa lainnya, seperti:
1.        Jasa penerbitan L/
2.        Jasa Transfe
3.        Jasa Inkas
4.        Bank Garansi
5.        Menerima Zakat, Infak, dan Sadaqoh (untuk disalurkan)
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberi­kan perbankan kepada nasabahnya.
a)        Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
1.        Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
2.        Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
3.        Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang mengguna­kan prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank di­tentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prin­sip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk per­bankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adaiah musyara­kah dan mudharabah.
1.        Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menja­di bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti:
a.        Pembiayaan Murabahah
Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai muraba­hah. Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok di­tambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan da­lam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
b.        Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diper­jualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam trans­aksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan bar­ang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasa­bah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjual­nya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridg­ing financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berla­kunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum Salam:
·           Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
·           Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
·           Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau di­pesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.

c.         Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (­termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syar­iah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ketentuan umum:
·           Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati di­cantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah sela­ma berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pe­sanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditang­gung nasabah.
Description: https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/c-istishna.jpg?w=614&h=452

2.        Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Description: https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/d-sewa1.jpg?w=614
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perban­kan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang dii­kuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
Description: https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/d-sewa2.jpg?w=614
3.        Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a.        Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyara­kah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara ber­sama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah se­mua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dima­na mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasa­ma dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
Description: https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/e-musyarakah.jpg?w=614&h=325
Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal ber­hak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindak­an seperti:
·           Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
·           Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
·           Memberi pinjaman kepada pihak lain.
·           Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau di­gantikan oleh pihak lain.
·           Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
Ø  Menarik diri dari perserikatan
Ø  Meninggal dunia,
Ø  Menjadi tidak cakap hukum
·           Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
·           Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana terse­but bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b.        Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudhara­bah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dima­na pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama de­ngan kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab un­tuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan se­bagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola mo­dal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal ha­nya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah mo­dal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudhar­abah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak ha­rus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan me­rusak ajaran Islam.
Description: https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/f-mudharabah.jpg?w=614&h=302
Ketentuan umum
·           Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
·           Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
Ø  (Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
Ø  (Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
·           Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
·           Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewa­jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
c.         Mudharabah Muqayyadah
Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pa­da adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan per­mintaan pemilik modal.
4.        Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya di­perlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mem­permudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini diboleh­kan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan un­tuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini seke­dar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.

a.        Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat me­lanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seo­rang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
Description: https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/g-hiwalah.jpg?w=614&h=372
b.        Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pem­bayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
·           Milik nasabah sendiri.
·           Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
·           Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka ke­lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi keku­rangannya.
c.         Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
·           Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum ke­berangkatannya ke haji.
·           Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengem­balikannya sesuai waktu yang ditentukan.
·           Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
·           Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me­nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya se­cara cicilan melalui pemotongan gajinya.
d.        Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apa­bila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tang­gung jawab nasabah. Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-­masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha­rus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.
e.         Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mem­persyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana un­tuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.

b)        Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi ah dan mudharabah.
1.        Prinsip Wadiah
Prinsip Wadi’ah yang diterapkan adalah wadi ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perban­kan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak seba­gai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.
Ketentuan umum dari produk ini adalah:
·           Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai sua­tu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
·           Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
·           Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
·           Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2.        Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut diguna­kan bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana terse­but digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudhara­bah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk mela­kukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi2. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mud­harabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Description: https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/h-mudharabah.jpg?w=614&h=342
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu:
a.        Mudharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda­sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
·           Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
·           Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
·           Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
·           Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti de­posito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpan­jangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
·           Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b.        Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restrict­ed investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat­-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disya­ratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digu­nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
·           Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus di­ikuti oleh bank wajib membuat akad yang mengatur persyarat­an penyaluran dana simpanan khusus.
·           Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
·           Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
·           Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
c.         Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber­tindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan an­tara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pe­laksana usahanya.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
·           Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
·           Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
·           Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil
Description: https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/i-mdrbh-mqydh.jpg?w=614&h=401

3.        Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, bia­sanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini ti­dak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan un­tuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluar­kan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.

E.        Produk – Produk Bank Konvensional

Produk – produk Bank Umum adalah antara lain :
a)        Simpanan Giro (Demand Deposit), merupakan simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek atau bilyet giro.
b)        Simpanan Tabungan (Saving Deposit), merupakan simpanan pada bank yang penarikan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Penarikan tabungan dilakukan menggunakan buku tabungan, slip penarikan, kuitansi atau kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
c)         Simpanan Deposito (Time Deposit), merupakan simpanan yang memiliki jangka waktu tertentu (jatuh tempo). Penarikannya pun dilakukan sesuai jangka waktu tersebut. Dalam praktiknya jenis deposito terdiri dari deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call.
d)        Kredit Investasi, merupakan kredit yang diberikan kepada pengusaha yang melakukan investasi atau penanaman modal.
e)        Kedit Modal Kerja merupakan kredit yang digunakan sebagai modal usaha.
f)          Kredit Perdagangan merupakan kredit yang diberikan kepada para pedagang dalam rangka memperlancar atau memperluas atau memperbesar kegiatan perdagangannya.
g)        Kredit Produktif merupakan kredit yang dapat berupa investasi, modal keda atau perdagangan.
h)        Kredit Konsumtif merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan pribadi misainya keperluan konsumsi, baik pangan, sandang maupun papan.
i)          Kredit Profesi merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profesional seperti dosen, dokter atau pengacara.
Produk Perbankan Umum
Produk Perbankan Syariah
Simpanan Giro
Simpanan Tabungan
Simpanan Deposito
Krdit Investasi
Krdit Modal Kerja
Kredit perdagangan
Kredit produktif
Kredit Konsumtif
Kredit profesi
Pembiayaan Murabahah
Salam
Istishna
Ijarah
Musyarakah
Mudharabah
Hiwalah
Rahn
Qard
Wakalah
Kafalah


F.        Kelebihan Bank Syariah dibanding Bank Konvensional

a)        Akad dan aspek legalitas
Di dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Di dalam perbankan syariah, apabila pihak-pihak yang melakukan akad atau transaksi melanggar kesepakatan / perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani, maka konsekwensi hukum yang akan diterima tidak hanya ketika hidup di dunia saja tetapi juga kelak di hari kiamat. Semua hal dan pihak-pihak, baik barang, jasa maupun pelaku-pelaku yang terlibat dalam setiap akad transaksi perbankan syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan syari’ah sebagai berikut:
1.        Rukun: penjual, pembeli, barang, harga dan akad (ijab-qabul / transaksi)
2.        Syarat-syarat, yaitu:
1)        Barang dan jasa harus halal. Karena itu segala bentuk akad / transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal / haram demi syari’ah.
2)        Harga barang dan jasa harus jelas.
3)        Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
4)        Barang yang menjadi obyek transaksi harus sepenuhnya dalam kepemilikan yang sah. Tidak diperbolehkan oleh syari’ah melakukan akad / transaksi jual beli atas barang atau sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai, seperti yang terjadi pada transaksi short sale di pasar modal.
b)        Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terjadi perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di Pengadilan Negeri, tetapi di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Lembaga inilah yang mengatur penyelesaian sengketa yang terjadi antara perbankan syariah dan nasabahnya. Lembaga ini didirikan atas kerjasama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Karena itu, BASYARNAS dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut perbankan syariah mengacu kepada hukum materi syari’ah. Penyelesaian sengeketa melalui BASYARNAS sesuai dengan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi:" Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesain sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad". Maka jika dalam akad dituangkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, hal ini dimungkinkan terjadi sesuai dengan kesepakatan para pihak yaitu bank dan nasabah.
Selain itu dengan amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, maka penyelesaian sengketa dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Hal ini dimungkinkan karena undang-undang tersebut secara eksplisit dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat menyelesaiakan sengketa ekonomi Islam. Hal ini juga dituangkan dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi: "Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama".
c)         Struktur Organisasi
Bank syariah diperkenankan untuk memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional, misalnya adanya dewan komisaris dan direksi. Namun, di sisi lain terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara struktur organisasi yang dimiliki bank syariah dan bank konvensional. Perbedaan yang mendasar itu adalah bahwa di dalam struktur organisasi perbankan syariah harus ada Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas pendapat atau opini yang dikemukakan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Struktur organisasi tersebut terbagi atas:


1.        Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Fungsi utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah mengawasi jalannya operasional bank syariah sehari-hari agar selalu sesuai dengan petunjuk dan ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Hal ini, karena akad / transaksi yang berlaku di dalam sistem perbankan syariah sangat berbeda dengan akad / transaksi yang berlaku di dalam perbankan konvensional. Dalam kaitan ini, dalam sistem perbankan syariah diperlukan garis-garis panduan (guidelines) yang berbeda pula dengan sistem perbankan konvensional. Garis panduan ini disusun dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional. Dalam pada itu, Dewan Pengawas Syariah (DPS) harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya setiap tahun) bahwa bank syariah yang diawasi telah berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan syari’at Islam. Pernyataan DPS ini disampaikan dalam buku laporan tahunan (annual raport) bank yang bersangkutan. Tugas lain Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah meneliti dan membuat rekomendasi atas produk baru bank syariah yang diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama atas produk yang telah diteliti dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
2.        Dewan Syariah Nasional (DSN)
Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi dari Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonomi di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan seorang sekertaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional (DSN) ini dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekertaris serta beberapa anggota. Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syari’at Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi perbankan syariah, tetapi juga mengawasi lembaga-lembaga keuangan syariah lain, seperti asuransi, reksadana, modal ventura dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah yang terdapat di setiap lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar acuan dalam pengembangan produk-produknya. Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi kepada para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah tertentu. Dewan Syariah Nasional dapat memberikan teguran kepada lembaga keuangan syariah yang dipandang telah menyimpang dari garis panduan perbankan syariah dan petunjuk syari’at Islam. Hal ini dilakukan setelah menerima dan mendapat laporan dari Dewan Pengawas Syariah lembaga keuangan atau perbankan syariah yang bersangkutan. Jika lembaga keuangan atau perbankan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan saksi hukum yang berlaku agar lembaga keuangan atau perbankan syariah tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan yang lebih jauh dari ketentuan dan petunjuk syari’ah.
d)        Bisnis dan Usaha yang Dibiayai Perbankan Syariah.
Di dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari ketentuan dan petunjuk syari’ah. Karena itu, bank syariah tidak diperkenankan membiayai bisnis dan usaha yang diharamkan oleh syari’ah. Lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah tidak akan memperhatikan permohonan pembiayaan dari suatu usaha atau bisnis sebelum mendapatkan kejelasan dan kepastian akan beberapa hal pokok sebagai berikut:
1.        Apakah obyek pembiayaan itu halah atau haram?
2.        Apakah proyek yang akan dibiayai itu menimbulkan madharat atau tidak?
3.        Apakah proyek yang akan didanai berkaitan dengan perbuatan zina / asusila lainnya?
4.        Apakah proyek itu berkaitan dengan perjudian?
5.        Apakah proyek yang akan dibiyai itu berkaitan dengan pembuatan senjata ilegal?
6.        Apakah proyek itu dapat merugikan syi’ar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung?
7.        Mengenai jenis dan kegiatan usaha bank syariah diatur dalam Pasal 18-23 UU No. 21 Tahun 2008. sedangkan bagi Bank Syariah diatur dalam Pasal 24-26.

G.      Keunggulan dan Kelemahan Antara Bank Syariah dan Konvensional

a)        Keunggulan Bank Syariah
Bank syariah memiliki beberapa keunggulan yaitu sebagai berikut :
1.        Bank syariah relatif lebih mudah merespons kebijaksanaan pemerintah.
2.        Terhindar dari praktik moneu laundring.
3.        Bank syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya.
4.        Tidak mudah dipengaruhi gejolak moneter.
5.        Mekanisme bank syariah didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan dan kebersmaan.
b)        Kelemahan Bank Syariah
Bank syariah memiliki beberapa kelemahan diantaranya sebagai berikut :
1.        Jaringan kantor bank syariah belum luas.
2.        SDM bank syariah masih sedikit.
3.        Pemahaman masyarakat tentang bank syariah masih kurang.
4.        Kekeliruan penilaian proyek berakibat lebih besar daripada bank konvensional.
c)         Keunggulan Bank Konvensional
Keunggulan Bank konvensional adalah sebagai berikut :
1.        Dukungan peraturan perundang – undangan yang mapan sehingga bank dapat bergerak lebih pasti.
2.        Banyaknya bank konvensional menggairahkan persaingan.
3.        Nasabah telah terbiasa dengan sistem bunga tidak dengan metode bagi hasil yang relatif baru.
4.        Bank konvensional lebih kreatif membuat produk – produk baru.
5.        Metoe bunga telah lama dikenal masyarakat.
d)        Kelemahan Bank Konvensional
Bank konvensional memiliki beberapa kelemahan diantaranya sebagai berikut :
1.        Adanya praktek sfekulasi tanpa perhitungan.
2.        Kredit bermasalah.
3.        Praktik curang.
4.        Faktor manajemen
BUNGA
BAGI HASIL

a.    Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a. Penentuan besarnya rasio/ nis-bah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung  atau  rugi

b.    Besarnya persentase berdasar-kan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
     Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

C    Pembayaran bunga tetap se-perti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
c. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang di-jalankan. Bila usaha merugi, ke-rugian akan ditanggung ber-sama oleh kedua belah pihak.

d.   Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi se-dang "booming".
d. Jumlah pembagian laba me-ningkat sesuai dengan pe-ningkatan jumlah penda-patan.


e.    Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
E   Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil




[3] Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997. Hlm.1